Sejarah Perkembangan tdan Filosofi Tari Topeng Cirebon

Sebagai hasil kebudayaan, Tari Topeng mempunyai nilai hiburan yang mengandung pesan-pesan terselubung, karena unsur-unsur yang terkandung didalamnya mempunyai arti simbolik yang bila diterjemahkan sangat menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai pendidikan. Variasinya dapat meliputi aspek kehidupan manusia seperti kepribadian, kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta bahkan angkara murka serta menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga menginjak dewasa.

Sudah lama Tari Topeng Cirebon mengundang tanda tanya akibat daya pesonanya yang tinggi, tidak saja di Indonesia tetapi juga di luar negri. Tari Panji, yang merupakan tarian pertama dalam rangkaian Topeng Cirebon, adalah sebuah misterium. Sampai sekarang belum ada koreografer Indonesia yang mampu menciptakan tarian serupa untuk menandinginya. Tarian Panji seolah-olah”tidak menari”. Justru karena tariannya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki diam. Bagi mereka yang kurang peka dalam pengalaman seni, tarian ini akan membiosankan.       

Inilah teka-teki Tarian Panji dalam Topeng Cirebon. Bagaimana penduduk desa mampu menciptakan tarian semacam itu? Penduduk desa yang tersebar di sekitar Cirebon hanyalah pewaris dan bukan penciptanya. Penduduk desa ini adalah juga penerus dari para penari Keraton cirebon yang dahulu memeliharanya. Ketika Raja-raja Cirebon diberi status”pegawai”oleh Gubernur Jenderal Daendels, dan tidak diperkenankan memrintah secara otonom lagi, maka sumber dana untuk memelihara semuah kesenian Keraton yang amat diperlukan sesuai dengan”gaji”yang diterima Raja dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Begitulah penari-penari dan penabuh gamelan Keraton harus mencari sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan seperti umumnya kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat mengalami transformasi-transformas.  Proses transformasi itu berakhir dengan keadaannya yang sekarang yakni berkembangnya berbagai”gaya”topeng Cirebon, seperti Losari,Kreo,Palimanan dan lain-lain.
Filsafat tari topeng cirebon  itu didapat tentu saja dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada dan dipadukan dengan konteks budaya munculnya tarian tersebut. Konteks budaya Topeng Cirebon tentu tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri yang sekarang, untuk itu diperlukan penelusuran historis terhadapnya.

Nenek moyang Tarian topeng Cirebon sampai kiamat pun kita tidak akan mengetahuinya, lantaran masyarakat indonesia lama tidak akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya tulis dikenal di Keraton-keraton Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat pencipta-pencipta kesenian, kecuali dalam beberapa sastranya.

Kalau pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di zaman mana Topeng Cirebon ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun ada dugaan bahwa di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah dikenal. Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja ini menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Jadi Tari topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan raja dengan penonton perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, ibu raja).

Dengan demikian dapat diduga bahwa topeng Cirebon ini sudah populer di zaman Majapahit antara tahun 1300-1400 tarikh Masehi. Mencari dasar filosofi tarian ini harus dikembalikan pada sistem kepercayaan Hindu-Budha-Jawa zaman Majapahit. Tetapi mengapa sampai di Keraton Cirebon? Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit (1525), tarian ini rupanya dihidupkan oleh Sultan-sultan Demak yang mungkin mengagumi tarian ini atau memang dibutuhkan dalam kerangka konsep kekuasaan yang tetap spiritual. Dalam babab dikisahkan bahwa Raden Patah menari Klana di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini justru membuktikan bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Bahwa hanya raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.

Dari Demak tarian ini terbawa bersama penyebaran pengaruh politik Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh kekuasaan dan islamisasinya di seluruh daerah pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai di Keraton Cirebon dan Keraton Banten. Inilah sebababnya berita-berita Belanda menyebutkan keberadaan tarian in di Istana Banten. Banten dan Cirebon sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak, terbukti dari penggunaan bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri dilanjutkan oleh Pajang yang berada di pedalaman, kemudian digantikan oleh Mataram yang juga di pedalaman.

Topeng Majapahit ini, dengan demikian, hanya hidup di daerah pesisir Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak hidup kecuali bentuk dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup dalam fungsi ritualnya, tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam pedalaman. Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona seninya. Topeng sangat puitik dan kurang menagcu pada mitologi Panji yang hinduistik. Topeng lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu pada realitas transenden. Inilah sebabnya sultan-sultan di Jawa Barat yang kuat Islamnya masih memelihara kesenian ini.

Topeng Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem kepercayaan Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di mana pun Indonesia, dalam penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha. Paham emanasi tidak membedakan pencipta dan ciptaan karena ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal. Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam dirinya adalah ketunggalan mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka keberagamaan dan keanekaan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi.

Sang Hyang Tungganl Indonesia purba ini mengandung semua sifat ciptaan. Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan, maka dalam diri Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi hadir dalam keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia berada secara seimbang dalam dirinya sehingga sifat itu tidak dikenal manusia (alias kosong mutlak). Paradoksnya justru kosong itu kepenuhan sejati karena dia mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu penuh, penuh itu kosong, itulah Sang Hyang Tunggal. Di dalamnya tidak ada perbedaan, tunggal mutlak. Di Cina, Sang Hyang Tunggal disebut Tao.

Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang Tunggal ini memecahkan dirinya dalam pasangan-pasangan kembar saling bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan, daratan dan lautan. Dalam tarian ini digambarkan lewat tari Panji, yakni tarian yang pertama. Tarian panji ini merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi Sang Hyang Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka dalam pasangan-pasangan.

Inilah sebabnya kedok panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah kosong. Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya gemuruh. Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian panji sepenuhnya sebuah paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang Tunggal dalam transformasinya menjadi aneka, dari ketidakberbedaan menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu.

Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal menjadi dirinya ke dalam dua pasang yang saling bertentangan, yakni “Pamindo-Rumyang”, dan “Patih-Klana”. Inilah sebabnya kedok Pamindo-Rumyang berwarna cerah sedangkan Patih-Klana berwarna gelap (merah tua).

Gerak tari Pamindo-Rumyang harus keperempuan-perempuanan sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak “dalam” (istri dan adik ipar panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak “luar”. Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi dua pasangan salinh bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat tarian setelah panji mengandung unsur-unsur tarian panji. Untuk hal ini orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya.

Topeng panji menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni terciptanya alam semesta beserta manusia ini pada awal mulanya. Topeng panji atau topeng Cirebon ini mengulangi peristiwa primordial umat manusia, bagaimana penciptaan terjadi. Tidak mengherankan kalau di zaman dahulu hanya ditarikan oleh para raja. Raja mewakili kehadiran Sang Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham kekuasaan Jawa, raja adalah dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham dewa-raja.

Topeng Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam semesta serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan ketunggalan mutlak tanpa pembedaan, berubah menjadi keanekaan relatif yang sangat berbeda-beda sifatnya. Tarian Cirebon adalah tarian ritual yang amat sakral. Tarian ini sama sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab lama disebutkan, bahwa raja menarikan panji dalam ruang terbatas yang disaksikan saudara-saudar perempuannya. Untuk menarikan topeng ini diperlukan laki puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh para dalang topeng di daerah Cirebon.

Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian dan sajian itu bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal. Sajian adalah lambang-lambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya dalam sajian sering dijumpai bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan, didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang laki-laki. Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang dunia atas. Cowek batu yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang perempuan. Pisang lambang lelaki,buah jambu lambang perempuan.air kopi lambang dunia bawah, air putih lambang dunia atas, air teh lambang dunia tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan.

Perayaan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, setiap tanggal 17 Agustus kadang memacu perorangan, instansi pemerintah atau pihak swasta dan sebagainya, dengan menmpilkan berbagai atraksi atau pameran, untuk ikut memeriahkannya. Maka tidak aneh pula, agar partisipasiperayaan dianggapmeriah dan memikat, ditampilkan sesuatu yang dianggap ganjil. Sesuatu yang dianggap baru dan benar-benar menarik perhatian.

Itu dilakukan pula oleh Kepala Desa Selangit, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon. Untuk memeriahkan dirgahayu Republik ini, di desanya ditampilkan kesenian khas dari daerah itu, yakni Tari Topeng. Tidak tanggung-tanggung, salah satu penarinya pun seorang wanita bule. Agar diketahui dan dipuji penduduk desa lain, kepala desa memerintahkan anak buahnya menyiarkan ke desa-desa sekitar, menggunakan pengeras suara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar